True Story… True Love

PROLOG

“Kak, tugas sekre banyak juga ya ?? Aku kira kita cuma ngurus surat – surat doank, ternyata….” Aku menghela nafas sambil membereskan notebook yang berserakan dilantai.

“Yah, emang kayak gitu… Tapi, pasti selesai kok…” Sri hanya tersenyum untuk menghiburku. Memang kami sudah bekerja lembur selama seminggu untuk kegiatan ospek yang akan diadakan minggu depan.

“Mudah – mudahan aja. Eh, Sya, lagi ngapain sih ?? Cepet beresin form pendaftarannya, masih banyak kerjaan kita yang belum selesai…” Aku melihat tasya cengar – cengir sendiri saat melihat form pendaftaran mahasiswa baru yang akan mengikuti ospek.

“Ini, culun – culun banget wajah maba-nya. Nggak sabar pengen lihat mereka waktu diospek….hehehe” tasya kembali tertawa cekikikan.

“Mana ?? Aku juga mau lihat dong…” Sri akhirnya duduk disebelah Tasya dan mereka pun asyik cekikikan. Aku hanya tersenyum sambil kembali merapikan notebook.

“Juna, lihat deh, cowok difoto ini lucu banget..” Tasya menyerahkan form beserta foto itu padaku. Aku memperhatikan foto itu dengan seksama. Cowok itu tersenyum sangat manis, dengan rambut cepak dan memakai baju batik sekolahnya. Kulirik nama yang tertera di form; Diaz Zenahary. Entah kenapa, aku merasakan kerinduan yang aneh saat memandang wajah di foto itu… Diaz. Diaz. Nama itu terngiang – ngiang dibenakku.

“hei, kenapa ngelamun sih Na?? Nayo, jangan – jangan naksir ya sama cowok itu ?? hahahaha…” Tasya nggak bisa menahan tawanya melihat tampang polos Juna yang lagi melamun.

“ah, nggak kok… Aku cuma ngerasa familier aja sama cowok ini… mungkin dulu pernah ketemu dimana gitu…” Jawabku sambil tetap memandang wajah Diaz.

“oh gitu. Kirain naksir. Tapi, jangan sampe deh Jun, naksir sama anak angkatan baru. Brondong bo…hihihihihi”

“Yee, jangan ngomong gitu Sya, ntar kemakan omongan sendiri lho. Kalau nanti akhirnya jodoh kita emang lebih muda, gimana??” Sri menasehati juniornya itu sambil tertawa.

“ya, jangan didoain dong kak… hehehe. Ya deh, gak papa kok kalau pacaran sama brondong. Kan lagi zamannya kayak gitu.” Tasya tertawa lebar.
Entah kenapa, rasanya semua perhatianku tersedot pada wajah cowok itu. Perbincangan Tasya dan kak Sri pun sudah terdengar samar – samar ditelingaku. Aku merasakan de javu yang aneh. Aku tak pernah tahu kenapa, sampai akhirnya hari itu tiba….

*****
19 November 2008
Nama Itu…

“Males banget deh sama tugas Sosbud nie…. Nggak ada tugas yang lebih ribet apa??” keluh Rika saat kami sedang berkumpul di bangku taman kampus.

“ Yah, kalau emang itu tugasnya, kerjain aja… walaupun susah, pasti kita bisa nyelesain kok…” Ziza berkata lembut sembari sibuk menggerakkan kipasnya. “ gerah banget ya hari ini…”
Rika tertawa terbahak – bahak. “ Kapan sieh, kamu pernah ngerasa nggak gerah Za?? Dingin karena lagi hujan aja kamu bisa bilang gerah…”. Ziza hanya tersenyum mendengar ledekan Rika.

“ Kalau misalnya kamu keberatan sama tugas wawancaranya, gak harus 100% hasil wawancara kan ?!? Kalau aku sih, setengahnya hasil wawancara, setengahnya fiktif. Gila aja kalau mau mewawancarai 200 orang lebih… males ah…” Aldo menimpali dengan cuek.

“Boleh juga tuh, usulnya Aldo… tapi, ya liat gimana nanti deh… Kalau masih ada mood buat ngerjain tugas dengan bener, ya, aku bener aja buatnya…” Aku menyahut sambil tak melepaskan mata dari novel yang sedang kubaca.

“ Udah, nggak usah ngebahas tugas Sosbud lagi. Tugas yang lain masih menumpuk untuk dibahas.” Inga mengeluarkan catatan tugas – tugas yang mereka miliki. “Duh, pusing deh aku ngeliat catetan ini. Kapan ya, kita bisa bebas tanpa tugas?”

“ hahaha… Ntar kalau kita dah lulus Nga.. Baru deh, nggak mikirin tugas lagi…” Rika tertawa geli.
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam 11.30, dan nggak ada tanda – tanda mahasiswa yang lain masuk ke kelas. “ Eh, kayaknya kita nggak ada kuliah deh jam kedua. Dosennya sampe sekarang belum dateng juga. Cabut yuk??”
Inga juga memandang sekitar areal kampus. Mahasiswa baru angkatan 2008 yang juga mengambil mata kuliah yang sama tampak santai bergerombol di sekitar kelas. “Kayaknya emang nggak ada deh. Dosennya kan emang males ngajar katanya. Mau cabut kemana emangnya??”

“ Mau ke perpustakaan pusat, mau nyari internet gratis. Hehehehe…” aku terkekeh saat memandang ekspresi wajah Inga dan Rika yang seolah berkata ‘Tuh, kan bener!!’

“Apalagi sih, yang dicari sama Juna di perpus kecuali internet gratisnya?? Hahaha.” Aldo meledek kebiasaanku.
Aku hanya tertawa. “Untuk apa ada internet gratis kalau kita nggak memanfaatkannya?? Betul nggak? Mending di Perpus deh daripada kayak kambing ompong nggak jelas disini”

“Yee, kamu aja kali yang kambing, kita – kita nggak lah ya. Kalau gitu, mending tanya sama koordinatornya deh, ada kuliah atau nggak. Absennya gimana, ada atau nggak. Siapa ya, koordinatornya?” Rika mengingat – ngingat siapa yang dulu ditunjuk untuk jadi koordinatornya.

“Cowok, angkatan 08. Yang pake kacamata. Tapi aku nggak tahu namanya. Lagian kita emang nggak pernah ngobrol sama dia.” Jawabku sambil memperhatikan gerombolan mahasiswa angkatan 08, berusaha mencari cowok berkacamata itu.
Dan saat itulah aku melihat cowok berkacamata itu keluar dari gedung kemahasiswaan sambil membawa map absensi. Tinggi, putih dan tampak pendiam. Saat dia lewat dekat tempat kami berkumpul, aku memanggilnya

“ Dik, koordinator mata kuliah PIP kan ??”

“iya. Kenapa kak?” jawabnya sembari mendekat.

“Dosennya dateng nggak?? Kalau sampe jam segini belum dateng, biasanya kan nggak ada kuliah.”

“Kuliah emang nggak ada kak, tapi tetep harus ada absensi. Tanda tangan aja dulu kak, absensinya.” Jawabnya sambil menyerahkan map absensi itu.
Akhirnya kami semua menandatangani absensi, dan map itu aku kembalikan padanya. “makasih ya dik.”

“Ya, sama – sama. Permisi kak.” Dan cowok itu pun berlalu.
Datar. Nggak ada yang berkesan. Tak pernah terpikirkan olehku untuk sekedar tahu namanya atau mengingatnya. Saat itu aku belum sadar, dialah yang telah membuatku merasakan de javu saat aku pertama kali melihat fotonya, 3 bulan yang lalu.
Akhirnya satu persatu teman – temanku pulang. Hanya aku dan Rika yang memutuskan untuk pergi ke perpustakaan pusat. Kami mencari komputer yang masih kosong dan mulai browsing – browsing bahan untuk tugas.

Saat itu, aku sedang mengecek e-mail dan friendster. Ada testimonial dari sweet banana. ‘aq anak teknik,angktn 08. Km kul d FP y? aq jg pny temen dsna, angktn 08,namanya Diaz. Kenal?’
Dan seketika aku seperti dialiri perasaan yang kuat. Perasaan yang mengatakan, akhirnya aku menemukannya. Akhirnya aku mengingatnya kembali. Diaz. Diaz Zenahary. Entah sudah berapa lama aku melupakan nama itu. Rasanya sudah lama sekali aku tak mengingatnya. Namun, alam bawah sadarku masih mematri nama itu. Menungguku untuk mengingatnya kembali.

Dengan keyakinan yang amat besar, aku membalas testi itu. ‘iy,aq kul d FP, angktn 07. Nama tmenmu Diaz Zenahary y? Klo dy aq tau,tp aq belum kenal. Soalnya dy jadi koordinator angktn 08.’
Selesai membalas testi, akhirnya aku membuka folder picture di flashdiskku. Ada satu folder berlabel ‘ospek 08’, lalu aku klik dan berderetlah ratusan foto saat ospek 3 bulan yang lalu.

Dulu aku hanya peduli pada foto yang berisi fotoku dan temen – teman. Tapi saat ini aku meneliti foto itu satu persatu. Dan disitulah dia. Diaz. Begitu banyak foto yang menampilkan dirinya. Saat sedang menyanyi, dihukum, terbaring sakit ataupun sedang mengemukakan pendapat saat diskusi berlangsung. Begitu banyak dirinya, dan aku tak menyadarinya. Sekalipun tak pernah menyadarinya.

“Kenapa aku baru sadar sekarang??” tak sadar aku berbisik pada diriku sendiri.

“apa Na??” Rika menatap Juna penasaran.

“Nggak, nggak ada apa-apa kok Ka. cuma lagi ngomong sendiri aja.” Aku tersenyum menenangkan. Terlalu dini untuk bercerita pada siapapun tentang ini semua.

“Kalau ini ada hubungannya sama Damar, nggak usah dipikirin deh Jun… Kalau dia emang nggak cinta sama kamu, lupain aja. Walaupun dia orang yang special buat kamu. Jangan buang – buang waktu mencintai dia bertahun – tahun.” Rika menasehatiku dengan pandangannya yang cemas.
Ya. Saat ini aku menyukai Damar, teman seangkatanku, tapi berbeda jurusan. Damar bukan tipe cowok yang bisa membuat cewek jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia cowok biasa. Benar – benar biasa dan sederhana. Namun aku benar – benar menyukainya.

Aku pada awalnya nggak percaya sama sekali dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Karena menurutku, itu bukan cinta, tapi hanya ketertarikan fisik belaka. Tapi semua itu berubah saat aku melihat Damar. Suatu hari saat awal perkuliahan, karena nggak ada dosen, aku dan teman-temanku duduk didekat kantin dan mengobrol. Saat aku sedang asyik mendengar leluconnya Adi, entah kenapa aku ingin sekali menoleh ke kanan. Dan saat menoleh itulah, aku melihatnya. Memakai baju berwarna merah, dengan tas yang digantung di satu pundak dan tertawa dengan teman-temannya, Damar benar-benar telah mencuri hatiku.

Aku tak tahu apa, tapi aku yakin ada sesuatu yang berbeda didirinya. Dan mulai saat itu sampai sekarang aku menyukainya. Namun rasa ini harus aku kubur dalam-dalam untuk sebuah persahabatan. Persahabatanku dengan Damar. Sahabat – sahabatku, Rika, Inga dan Ziza adalah saksi hidup saat aku menangis maupun tertawa karena Damar. Dan mereka tahu pasti, bagaimana kerasnya usahaku untuk tulus menerima, selamanya aku hanyalah seorang sahabat bagi Damar.

Dan mulai saat ini, cinta untuk Damar itu terusik oleh nama yang lain. Nama, yang entah kenapa, tanpa sadar selalu aku cari. Tanpa sadar selalu aku rindukan. Nama itu, yang mungkin akan memiliki arti bagiku. Nama itu, Diaz…

*****
Desember 2008
Akhirnya…

Belakangan ini waktuku hanya habis untuk mengamati Diaz. Hari – hariku dipenuhi Diaz. Diaz, Diaz dan hanya Diaz. Tapi tidak satupun dari sahabatku mengetahuinya. Walaupun aku hampir gila memikirkannya, hubungan kami tidak mengalami kemajuan apapun. Aku pun tak pernah berkenalan dengannya. Dan aku selalu berharap, semoga hubungan kami bisa lebih baik.

Dan, saat itu akhirnya tiba. Suatu hari, di awal bulan Desember, saat aku dan Inga sedang duduk di ruang tunggu gedung kemahasiswaan, Andra datang bersama Diaz. Walaupun Andra juga angkatan 08, tapi aku dan Inga sudah kenal baik dengannya karena kami banyak mengambil mata kuliah yang sama.

Andra duduk didepanku sambil memperkenalkan kami pada Diaz. “Di, ini angkatan 07, namanya Juna sama Inga. Baik – baik ya sama mereka, cause mereka itu master-masternya Agronomi.” Andra tertawa geli saat mengatakan ‘master’. Diaz hanya menanggapinya dengan senyum.

“Woo… dasar kamu emang Ndra. Ngeledek jangan kelewatan dunkz. hehehe” Entah kenapa aku jadi salting sendiri melihat senyum Diaz.

“Btw, kalau penjurusan nanti, berminat di program study apa?” Aku memulai percakapan dengannya.
Diaz tampak berpikir sesaat “Uhm, nggak tahu juga sih, tapi kayaknya Agronomi deh…”

“Bagus, artinya jadi adik kelas kesayangan deh ntar.” Aku tertawa untuk menutupi rasa gugupku.

“Kok gitu, memangnya aku bukan adik kelas kesayangan kalian??” Andra ngotot meladeni leluconku.

“Iya, kamu kan nanti mau ngambil program study lain, jadi nggak perlu disayang deh. Hahaha.”
Dan obrolan kami terus berlanjut. Dari obrolan – obrolan ringan itu, aku menyadari kalau ternyata aku dan Diaz mempunyai cara pikir dan sudut pandang yang sama. Tak terbendung rasa bahagiaku saat itu.

Akhirnya aku mendapat nomor handphone Diaz dari salah seorang temannya. Jabatan Diaz sebagai koordinator memudahkanku membuat alasan untuk menghubunginya.
Suatu hari, aku masuk kelas terlalu awal. Karena dosen belum datang, aku melanjutkan membaca novel New Moon, salah satu Twilight Saga karangan S. Meyer. Karena terlalu asyiknya membaca, aku nggak menyadari kalau Diaz menghampiriku. Dia menanyakan tentang kebenaran rencana datangnya Presiden besok ke kampus kami dan diliburkannya semua aktivitas akademik.

Obrolan kami berjalan cukup lancar sampai akhirnya dosen datang. Walau hanya dihampiri dan mengobrol ringan, aku sudah merasakan kebahagiaan. Entah kenapa, Diaz selalu membuatku bahagia dengan caranya. Dia, malaikat kebahagiaanku.
Pulang kuliah, aku, Inga dan Chika berniat untuk mampir ke warung pecel Madiun yang direkomendasikan Ziza padaku. Dan di lapangan parkir aku bertemu dengan Diaz dan bercakap – cakap.

“ udah mau pulang ya??” Diaz menghampiriku.

“ Iya nih… Ntar jam 3 ada kuliah lagi di kampus Sudirman, jadi sekarang mau mampir makan dulu sama temen-temen. Kamu juga mau pulang ya??”

“ Wah, penuh ya jadwalnya hari ini? Kalau aku sih dah selesai untuk mata kuliah hari ini. Btw, makan dimana?”

“ enaknya, nggak ada kuliah siang. Aku mau makan di Jalan Diponegoro. Disana ada warung pecel Madiun yang enak katanya. Kenapa, mau nraktir emangnya? Hehe..” aku tertawa.

“ haha… Kalau murah sih aku mau – mau aja nraktir.” Diaz tersenyum. “ kalau nggak keberatan sih, aku mau ikut makan bareng kalian. Boleh?”

“…….”

“wah, nggak boleh ya? Nggak boleh juga nggak apa – apa kok..” Diaz lagi – lagi tersenyum. Senyuman maut yang membekukan seluruh darahku.

“ ng…nggak kok.. boleh kok ikut.. aku cuma speechless tadi, coz nggak nyangka kamu mau ikut makan bareng kita.” Aku berusaha untuk nggak tersipu. Gagal.

“Beneran boleh nieh?”

“ of course…” aku hanya bisa tersenyum. “ ikutin aja kita dari belakang ya.. aku bareng Inga and Chika juga..”

“ OK..” Sekali lagi Diaz membekukan darahku dengan senyumnya. Lama – lama bisa hypothermia nih aku.
Dan Diaz pun mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di tempat makan, dy mengambil tempat duduk disebelahku. Obrolan ringan sambil saling mengenal satu sama lain pun berlanjut dengan selingan tawa. Inga dan Chika pun cepat akrab dengannya.

“ beneran Di, ayahmu itu kepala balai pertanian di Luwus? Yang galak itu?” Inga mengerutkan keningnya.

“ iya. Kakak kenal?”

“ kenal sieh nggak, cuma kemarin waktu aku lagi ada kegiatan disana, harus ngelapor sama ayahmu dulu. Serem tau, kesannya galak bener. Hehehe” Inga terkekeh geli.

“ hei, ngomongin ayahnya kok didepan anaknya? Dasar kamu Nga” aku pun ikut tertawa. “ tapi emang beneran galak ya Di?” aku mulai penasaran.

“ hahahha, galak sieh nggak terlalu, cuma orangnya emang tegas. Ya, kesannya galak gitu” Diaz tersenyum kecil.

“ kalau dah kenal, baik kan Di? Ntar aku baik – baikin anaknya dulu deh.. hahahha” candaku.

“ yeee, rayu dulu deh anaknya, biar ayahnya mau baik. Hahaha” diaz mulai bisa menimpali leluconku.
Waktu berlalu dengan cepat saat kita menikmatinya, dan kami bertiga pun harus segera menuju kampus untuk mengikuti kuliah berikutnya. Kami berempat berpisah dengan lambaian tangan. Namun aku percaya, masih banyak hari – hari lainnya yang akan kulalui dengannya.. 

*****

Januari 2009
Kebahagiaan…

Awal tahun 2009, begitu banyak harapan serta doa – doa yang aku panjatkan. Tapi satu yang pasti, semoga aku dan semua orang mendapatkan banyak hal baik di tahun ini.
Hubunganku dengan Diaz bisa dibilang memiliki kemajuan. Paling tidak, setiap hari ada saja sms atau telpon diantara kami. Dari hanya menanyakan tugas – tugas kuliah atau sekedar bertanya kegiatan masing – masing. Membahas tentang hasil ujian akhir semester yang sedang berjalan atau menceritakan kejadian – kejadian konyol yg terjadi saat ujian.

Semakin banyak aku mengenalnya, semakin aku tertarik padanya. Aku suka ambisinya… aku tersulut oleh perjuangannya untuk selalu mendapat nilai terbaik. Aku banyak belajar untuk menjadi lebih baik dari dirinya.
Dan, maafkan aku Tuhan, aku terlalu cepat melambung dengan keadaan ini… perhatiannya, dan semua sifat-sifatnya telah menarik diriku terlalu dalam pada perasaan hatiku. Bolehkah aku sebut ini cinta? Karena hanya kebahagiaan yang aku rasakan saat aku bersamanya. Bagaimanapun, terima kasih Tuhan, telah menghadirkan dia dalam hidupku. Terima kasih.

13 Januari 2009

“Na, ntar ke banknya gak perlu makan dulu, coz antreannya lumayan panjang”. Ujar Rika pada Juna yang sedang sibuk dengan hp-nya.

“Oii, bumi memanggil Juna, hellow…” canda Inga karena Juna masih tetap asyik sendiri.

“hah?? Apaan, sorry gak denger.. hehehehe.” Aku memandang dua sahabatku sambil tersenyum innocent.

“Juna, kamu sms-an sama siapa sih? Sibuk banget dari tadi? Aku cuma mau ngingetin, ntar langsung ke bank, biar gak terlalu panjang antriannya.” Rika mengulang lagi perkataannya.

Aku berpikir sebentar dan mengusulkan pindah ke cabang bank lainnya “Uhm, setahuku bank yg di daerah Nusa Dua terlalu ramai deh. Pasti lama banget ngantrinya. Kenapa gak nyoba cabang yang di Tuban aja? Disana kan lebih sepi coz jarang yang lewat sana”

“Males ah, aku bolak balik jadinya. Aku sih tetep di bank cabang Nusa Dua. Kamu mau di Tuban?” Rika mengeluh.

“Kalau kalian gimana?” aku memandang Ziza, Aldo dan Inga yang duduk di depanku.

“Aku udah transfer uangnya kemarin, males ah ngantri di bank, capek” Ziza menjawab lembut.

“Aku yang di deket rumah aja Jun, barengan sama kakakku juga. Hehe” Inga terkekeh.

“Kalau aku sih masih nunggu kiriman uang dari ortu, jadi belakangan aja bayarnya.” Aldo pasrah.

“Ya udah, aku coba Tanya Diaz dulu ya. Gak enak ngantri gak ada temennya.” Aku mulai mengirimkan sms pada Diaz.

Di,km jd mw k bank skrg? Mw d bank mna?

Tepat saat laporan ‘delivered to Diaz_cute’ tertera di layar hp, tanpa sadar aku tersenyum simpul. Dan aku tak tahu ternyata Ziza memperhatikan raut wajahku tadi.

“Jun, sejak kapan kamu jadi akrab sama Diaz?” Tanya Ziza tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak dan merasa tidak enak pada mereka. Karena sampai saat ini pun aku gak memberitahu mereka tentang perasaanku pada Diaz.

“Kurang lebih sebulan. Kan dia korti anak 08, jadi sering minta bahan – bahan kuliah. Anaknya juga seru, jadi akrab aja. Ya kan Nga? Aku sama Inga pernah makan bareng Diaz dulu.” Jawabku sedatar mungkin.
Lantunan nada tanda sms masuk pun berbunyi. Aku lebih berhati – hati agar tidak menunjukkan emosi apapun. Karena aku tahu, gelagat orang jatuh cinta sangat mudah ditebak dari wajahnya.

Jdi,tar pulang kul bareng y. km mw d bank mna? Aq sih trserah km aj.

OK.. Yg d tuban aj, coz d nusa dua rame bgt. Ak tunggu dkantin y.

Sip. 20 menit lg slesai kulnya.

“Ka, aku di cabang Tuban aja ya. Kamu gak apa-apa kan?” tanyaku.

“Gak sayang, lagian ntar ada kakakku juga. Jadi, Diaz bareng kamu?” Rika mulai mencium sesuatu yang tidak biasa antara Juna dan Diaz. Tapi dia memendamnya sampai Juna sendiri yang menceritakan padanya.

“Iya, biasa anak baru, gak ngerti katanya dia. Hehehe.”

“Okay, kalau gitu, aku balik duluan ya ke kost. Biar cepet nyampe bank. Kamu masih nunggu Diaz kan?” Rika mulai merapikan buku-bukunya.

“Iya, dia masih ada kelas. Paling 15 menit lagi udah kelar. Aku nunggu dia dikantin aja. Kalian balik duluan gak apa-apa kok.” Aku juga mulai memasukkan semua barang bawaanku ke dalam tas.

“Aku temenin kamu dikantin ya Jun. Lagian aku gak buru – buru balik ke kost.” Ziza berbaik hati.
Aku dan Ziza menuju kantin yang tidak terlalu jauh dari parkiran. Suasana kantin saat itu lenggang. Kami membeli minuman dingin dan mengambil tempat duduk menghadap jendela.

“Jun, minggu depan ini ada temenku yang mau dateng ke Bali. Enaknya aku ajak jalan – jalan kemana ya? Kalau Kuta atau Bedugul, dah bosen aku.” Ziza menatapku lembut.

“Hhmm, orangnya kayak gimana dulu? Interest sama apa? Pantai, gunung atau kesenian?”

“Nature deh kayaknya. Pantai oke, gunung juga boleh. Tapi jangan yang terlalu jauh ya, biar gak capek dijalan aku. Hohoho..”

“Pernah ke Jatiluwih gak? Disana ada pemandangan sawah terasering yang oke banget. Kalau mau ke Taman Kupu – Kupu juga searah kok sama Jatiluwih. Tempatnya di daerah Tabanan. Lebih deket lah daripada ke Bedugul. Gimana?” aku berpromosi.

“Wah, boleh juga tuh. Jalannya ribet gak Jun? Aku emang ada peta sih. Tapi entar kalau nyasar, aku telpon kamu seperti biasa ya.” Ziza tersenyum jahil.
Aku tertawa mengingat kebiasaan Ziza yang selalu meneleponku jika tersesat. “Kamu lebih percaya sama aku daripada peta ya? Hahahaha.”

Saat itu Diaz terlihat di jalan setapak menuju kantin. Tanpa sadar aku mengamati Diaz sambil tersenyum. Dan itu tak luput dari pengamatan Ziza.
Sebelum Diaz mencapai pintu kantin, Ziza mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Jun, kamu gak bisa ngelak lagi. You’re falling in love with him.”

Dengan kaget aku memandang Ziza yang sedang tersenyum. “Apa? Nggak mungkin ah”. Namun kata – katanya terpotong karena Diaz sudah ada di dekat kami.

“Hai senior, udah lama nunggu ya?” Diaz duduk disebelahku dan tersenyum pada kami berdua.

“Nggak juga. Kita juga baru ngobrol sebentar.” Ziza menjawab karena aku masih memandang Ziza malu.

“Mumpung Diaz udah dateng, aku tinggal dulu ya Jun. aku ada kerjaan di kost. Diaz, aku duluan ya.”

“Iya kak, hati – hati dijalan.” Diaz melambaikan tangan padanya, namun perhatian Ziza hanya padaku.

“Jun, don’t think to hard what I talked to you. Just realize…” Ziza tersenyum. “I’ll wait your story. As soon as possible”. Ziza tersenyum dan meninggalkan kami berdua.

“Kamu kenapa sih? Kok keliatan pucet gitu? Lagi sakit?” Diaz memandang diriku yang terlihat kikuk.

“Ahh, gak kok. Cuma tadi kaget aja sama omongannya Ziza. Mau berangkat sekarang kan?” aku berusaha mengganti topik.

“Emang kak Ziza ngomong apa?” Diaz penasaran.

“Never mind, biasa kok cewek kan rahasianya banyak. Hehehe. Yuk berangkat, biar gak kelamaan ngantri”. aku beranjak dari tempat duduk dan menarik Diaz ke tempat parkir.

~~~~~~~~~~TBC~~~~~~~~~~~~